Konstruksi Gender dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia
Istilah gender
menjelaskan bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang
terkonstruksi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut Puspitawati (2013),
kata “gender‟ dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan
tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan
(konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa gender
menyangkut aturan sosial yang merujuk pada perbedaan laki-laki dan perempuan.
Konstruksi gender pada masyarakat
Indonesia lebih cenderung menyudutkan perempuan, sehingga perempuan menjadi
pihak yang termarginalkan. Perempuan sering dianggap sebagai sosok yang lemah
lembut, tidak berdaya, mudah perasa, tidak pintar, dan penakut, sedangkan
laki-laki dianggap kuat, rasional, lebih pintar, dan pemberani. Dengan
pemikiran yang seperti itulah dapat membuat perempuan terkungkung dalam sistem
patriarki.
Rueda dalam
Wardani (2009) mengatakan bahwa patriarki adalah penyebab penindasan terhadap
perempuan. Masyarakat yang menganut sistem patriarki akan cenderung meletakkan
laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan.
Perempuan hanya memiliki ruang terbatas dan hanya bisa melakukan pekerjaan
domestik.
Ideologi
patriarki dapat dimulai dari keluarga sebagai unit terkecil dari patriarki.
Keluarga akan membentuk konstruksi gender yang sesuai dengan kehidupan
masyarakat khas Indonesia. Millet dalam Wardani (2009) menjelaskan bahwa orang
tua akan mengajarkan bagaimana anak mereka bersikap sesuai dengan jenis kelamin
anak. Menurut Millet dalam Wardani (2009), ideologi patriarki disosialisasikan
ke dalam tiga kategori. Pertama, temperament, merupakan komponen psikologi yang
meliputi pengelompokan kepribadian seseorang berdasar pada kebutuhan dan nilai-nilai
kelompok yang dominan. Hal itu memberikan kategori stereotype kepada laki-laki
dan perempuan; seperti kuat, cerdas, agresif, efektif merupakan sifat yang
melekat pada laki-laki, sedangkan tunduk (submissive), bodoh (ignorant), baik
(virtuous), dan tidak efektif merupakan sifat yang melekat pada perempuan.
Kedua, sex role,
merupakan komponen sosiologis yang mengelaborasi tingkah laku kedua jenis
kelamin. Hal ini membedakan gesture dan sikap pada setiap jenis kelamin.
Sehingga terjadi pelekatan stereotype pada perempuan sebagai pekerja domestik
(domestic service) dan laki-laki sebagai pencari nafkah. Ketiga, status yang
merupakan komponen politis dimana laki-laki memiliki status superior dan
perempuan inferior. Dengan demikan, anak perempuan akan diajari menjadi
perempuan yang lemah lembut, harus bisa mengerjakan segala pekerjaan rumah
tangga, tidak boleh banyak berperan, dan tidak akan menjadi masalah bila
perempuan tidak menuntut ilmu setingginya-tingginya.
Sistem patriarki
yang terkonstruksi dalam masyarakat Indonesia akibat dari konstruksi gender
dapat menjadikan perempuan Indonesia terpenjara dalam ketidakbebasan. Kebebasan
berekspresi, mengemukakan pendapat, menjadi mandiri, kuat, dan menuntut ilmu
akan terbatasi. Jika demikian, perempuan Indonesia jelas akan mengalami
kemunduran karena tidak mampu mengembangkan potensi dirinya. Padahal, kebebasan
mengembangkan potensi diri merupakan hak baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Fakta
di lapangan yang dapat kita lihat, perempuan akan dicemooh bila menuntut ilmu
hingga S3 saat belum berkeluarga, akan tetapi laki-laki akan dianggap lebih
keren apabila sudah S3 kemudian memutuskan untuk menikah. Perempuan akan
menjadi bahan pembicaraan bila mementingkan karier sebelum menikah, sedangkan
laki-laki akan dianggap lebih mapan apabila mementingkan karier sebelum
menikah. Perempuan akan menjadi bahan pembicaraan apabila memiliki gaji yang
lebih besar daripada suami, sedangkan laki-laki dianggap sah-sah saja apabila
memiliki gaji yang lebih besar daripada istri. Dari paparan di atas terlihat
bahwa masyarakat akan memberi feedback yang berbeda kepada jenis kelamin
yang berbeda, meskipun keduanya melakukan hal yang sama. Hal ini dapat menjadi
salah satu indikator bahwa masyarakat Indonesia benar-benar tenggelam dalam
konstruksi gender yang menyudutkan perempuan.
Komentar
Posting Komentar